Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menggurui tapi semata mata hanya untuk berbagi pengalaman. Semoga bisa bermanfaat.
Kisah ini terjadi pada tahun 1998 ketika saat itu anak saya yang bungsu berusia 15 tahun. Saya menyadari kalau saat itu anak saya – sebagai mana lazimnya anak seusia dia- cenderung egois dan mau menang sendiri.
Sudah menjadi kebiasaan setiap hari sebelum anak-anakku pulang sekolah selalu sudah aku siapkan teh. Aku memang sengaja memakai minuman teh sebagai sarana untuk membangun kebersamaan, komunikasi sekaligus dapat menjadi ungkapan cinta dan perhatianku.
Hari itu, jumat, saya sengaja membuat 2 gelas teh untuk kita minum bersama. Satu teh aku tuangkan dalam gelas ukuran besar dan satunya lagi pada gelas yang lebih kecil. Aku panggil anakku untuk mengambil teh itu dan benarlah dugaanku anakku memilih teh yang ada dalam gelas besar. Setelah anakku meminumnya seteguk dia protes dengan mengatakan ‘papa curang’ karena tehnya terasa pahit -memang sengaja tidak aku kasih gula- sementara yang aku minum justru teh yg manis. Dan saat itu aku bertanya ‘kenapa kamu ambil yang gelas besar, apakah kamu merasa beruntung karena kamu mendapat bagian yg lebih banyak?’ Ku katakan pada anakku ‘nak… kalau kelak kamu selalu mau menang sendiri sementara orang lain kamu rugikan bukan saja kamu tidak disukai banyak orang tapi kamu akan banyak kehilangan’. Anakku diam tapi aku merasa dia berpikir dan merenungkan kejadian tadi. Itulah babak pertama dari pelajaran minum teh. Satu minggu berikutnya aku lakukan hal yang sama. Aku panggil dia dan aku suruh ambil teh itu, dengan percaya diri dia mengambil yang gelas kecil sambil berucap ‘ aku tidak serakah lagi pa’. Dia minum seteguk lalu diam sejenak. Aku tanya ‘kenapa nak?’ pahit? Dia hanya mengatakan ‘iya’ lalu aku tanya anakku kenapa kamu pilih gelas kecil? Tentu karena pengalaman minggu lalu kan? Aku katakan ‘nak…ketika kamu terlalu mengandalkan pengalaman sebagai satu-satunya kebenaran maka kamu akan banyak menemukan kegagalan. Ingat nak, sebuah pengalaman belum tentu tepat untuk situasi dan waktu yang berbeda. Pengalaman perlu diuji dan disesuaikan dengan situas yang sedang berlangsung. Anakku terdiam. Ini pelajaran yang kedua yang aku berikan. Dua minggu berikutnya aku melalukan hal yang sama dan ketika aku suruh anakku memilih teh itu dia mengatakan ‘papa aja yang ambil dulu sisanya aku yang minum’. Saat aku sekali lagi minta anakku untuk ambil dulu dia mengatakan papa sudah bekerja keras untuk kami berdua’ -saya memang punya dua anak- dan tentu saja saya sebagai ayah akan memilihkan yang terbaik buat anakku. Aku berikan kepada anakku teh yang gelas besar dan manis pula. Dia puas dengan yang aku pilihkan. Tanpa membuang kesempatan lagi saat itu aku katakan kepada anakku ‘nak…ketika kelak harus mengambil keputusan, kamu dapat menahan keinginanmu dan kamu bisa mendahulukan kepentingan orang banyak maka justru saat itu kamu akan mendapat kemenangan. Itulah misteri kehidupan. Ketika kamu menggenggam erat segalanya akan terlepas dan ketika kamu bisa melepas maka kamu akan mendapat banyak.
Aku bersyukur saat ini kedua anakku memiliki jiwa sosial yang tinggi, penuh kepedulian terhadap sesama terlebih terhadap kami sebagai orang tuanya. Memang benarlah kata orang bijak shi nian zhu mu bai nian zhu ren yang artinya perlu sepuluh tahun untuk menanam pohon dan dibutuhkan seratus tahun untuk mendidik manusia.
Oleh : Bp.A.A.Gunawan