ARTABAN, Orang Majus Keempat yang Misterius
Oleh Febry Silaban
Tulisan ini masih berkaitan artikelku yang pertama kemarin tentang Epifani (https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10225351658406990&id=1489444066).
Nama tiga orang Majus yang sekarang ini dikenal di Gereja Katolik Roma berasal dari tradisi yang diperoleh sejak abad ke-7, dengan nama Caspar, Melchior, dan Balthasar.
Santo Bede (735) menulis tentang hal ini dalam tulisannya, Excerpta et Collectanea, “Orang majus adalah mereka yang membawa persembahan bagi Tuhan. Yang pertama dikatakan bernama Melchior, seorang tua berambut putih dan berjenggot panjang… yang mempersembahkan emas kepada Kristus bagai kepada seorang raja. Yang kedua bernama Caspar, seorang muda tanpa jenggot dan kulitnya berbintik-bintik kemerahan… menyembah-Nya sebagai Tuhan dengan persembahan kemenyan, suatu persembahan yang layak bagi yang ilahi. Yang ketiga, berkulit hitam dan berjenggot lebat, namanya Balthasar… dengan persembahan mur yang menandai bahwa Anak Manusia akan wafat.”
Masing-masing mereka sering diidentikkan sebagai berikut: Melchior sebagai Raja Arab, Gaspar (atau Caspar) sebagai Raja Sheba, dan Balthazar sebagai Raja Mesir.
Namun, ada juga ahli yang mengatakan bahwa sebenarnya ada ‘Orang Bijak Keempat yang Misterius’, yang bernama Artaban, seorang Raja Persia (Iran), yg membawa safir biru, batu ruby merah, dan mutiara sebagai persembahannya. Lalu, mengapa Artaban tidak dihitung dalam kunjungan orang majus ke Betlehem? Apakah Artaban bisa akhirnya melihat bayi Yesus di Betlehem? Nah, ini cerita yang lebih menarik lagi.
Artaban adalah seorang Raja Persia (Iran sekarang) yang mempelajari planet dan bintang membawanya untuk memprediksi kelahiran Raja segala raja. Dikatakan bahwa dia menjual semua yang dimilikinya dan membeli safir biru besar sebagai pecahan langit malam, batu ruby yang lebih merah dari sinar matahari terbit, dan mutiara berkilau semurni puncak gunung salju di senja hari, yang ingin dia bawa sebagai penghormatan kepada Raja para raja ini. Dia kemudian berangkat ke Yerusalem, di mana dia telah berjanji untuk bertemu dengan tiga Orang Majus lainnya untuk bersama-sama mengunjungi Raja yang baru lahir ini.
Setelah berminggu-minggu perjalanan yang sulit yang membuat frustrasi, tiba-tiba dia menemukan seorang lelaki tua Yahudi terbaring di jalan, menderita demam yang mematikan, seraya memohon bantuan. Artaban ragu-ragu. Jika dia berhenti untuk melayani orang asing yang sekarat, dia bisa ketinggalan dengan ketiga temannya. Namun, jika dia pergi sekarang, pria itu pasti akan mati. Akhirnya, dia tinggal bersama pria yang sakit itu dan merawatnya hingga sembuh. Kemudian Artaban meninggalkan bersamanya semua yang tersisa dari roti dan anggur, dan simpanan ramuan penyembuh. Lalu, kata pria Yahudi yg sudah sembuh itu, “Aku tidak punya imbalan apa pun, hanya informasi ini nabi kami meramalkan bahwa Mesias akan lahir di Betlehem, bukan di Yerusalem. Semoga Tuhan membawa Anda dengan aman ke tempat itu, karena Anda punya belas kasihan menolong orang sakit seperti saya.”
Ketika sampai di tempat dia akan bertemu Melchior, Caspar, dan Balthazar, dia menemukan bahwa mereka telah pergi. Ada pesan untuknya: ‘Kita tidak bisa menunda lagi. Ikuti kami melintasi gurun. Lalu, Artaban kembali ke Babilonia, menjual safir, dan membeli sekereta unta, dan bekal untuk perjalanan tersebut. Dia tiba di Betlehem dengan sisa persembahan ruby dan mutiaranya, tetapi itu sudah lewat tiga hari penuh setelah tiga orang bijak lainnya mengunjungi Maria, Yoseph, dan Yesus, dan meletakkan hadiah emas, kemenyan dan mur di kaki bayi Raja.
Di sebuah rumah kecil, Artaban bertemu dengan seorang ibu muda dengan bayi laki-lakinya, yang memberi tahu dia bahwa Yoseph telah membawa istri dan anaknya dan melarikan diri secara diam-diam malam itu juga. Raja Herodes membunuh semua anak laki-laki, karena Herodes takut ‘Raja’ yang dijanjikan akan mengambil takhtanya. Saat dia berbicara dengan wanita itu, ada keributan di jalan-jalan. Ternyata tentara Herodes sedang menggeledah setiap rumah untuk membunuh setiap anak laki-laki yang mereka temukan. Ibu muda itu jadi ketakutan karena nasib anaknya sendiri, dan memohon bantuan Artaban. Artaban bergegas ke ambang pintu dan memberikan batu ruby kepada prajurit itu, yang menyambarnya dengan penuh semangat. “Ayo, pergi dari sini!” Tentara tersebut memerintahkan anak buahnya, “tidak ada anak di sini!”
Artaban mendesah: “Sekarang dua hadiah saya hilang. Saya telah memberikan kepada manusia yang seharusnya saya persembahkan untuk Tuhan. Apakah sebenarnya saya akan layak melihat wajah Raja?” Akan tetapi, ibu muda itu menangis karena gembira, sambil berkata dengan lembut kepada Artaban: “Karena Anda telah menyelamatkan nyawa anak kecilku, semoga Tuhan memberkatimu dan menjagamu serta memberimu kedamaian!”
Konon Artaban mengembara selama 33 tahun untuk mencari keluarga dari Betlehem. Lelah dan letih, sekarang sakit dan siap mati, tetapi ia masih terus mencari Raja. Akhirnya, dia datang untuk terakhir kalinya ke Yerusalem. Di sana dia mendengar kabar tentang seorang tokoh hebat yang akan dihukum mati hari itu juga. Artaban mendengar juga perihal kehidupan dan ajarannya, dan ia menyadari bahwa ini memang ‘Raja’-nya. Saat dia berjalan ke Golgota, dia berharap ‘mutiaranya yang sangat berharga’, yang terakhir dia pegang, bisa membeli pembebasan Raja para raja. Namun, di tengah jalan, Artaban bertemu dengan sepasukan tentara berbaris di jalan, menyeret seorang gadis muda dengan rantai. Saat mereka lewat, gadis itu berteriak kepada Artaban: “Kasihanilah saya. Selamatkan aku! Ayah saya punya hutang banyak dan saya akan dijual sebagai budak untuk membayar hutang.”
Artaban segera tahu apa yang harus dia lakukan. Dia mengambil mutiara dari balik bajunya – ternyata mutiara itu tiba-tiba tampak begitu bercahaya dengan kemilaunya yang sangat indah – dan menukarnya dengan kebebasan gadis itu!
Tidak lama setelah Artaban melunasi utangnya dan menjamin pembebasan gadis itu, keadaan berubah dari buruk menjadi lebih buruk bagi Artaban. Setelah dia tidak punya lagi tiga hadiah tak ternilai yang awalnya dia persembahkan untuk Raja para raja, tiba-tiba hari itu langit menjadi gelap secara tidak wajar, dan gempa bumi yang hebat mengguncang kota. Sebuah pecahan batu ubin melayang menghantam kepala Artaban dan melukai dia secara fatal. Dia jatuh pingsan ke tanah, dan saat gadis itu menyangga kepalanya di pangkuannya, bibirnya mulai bergerak. Seakan-akan berbicara kepada seseorang yang hanya bisa dilihatnya, Artaban terdengar berkata: “Tidak mungkin itu, Tuhan. Kapan saya melihat Anda lapar dan memberi Anda makan? Atau haus dan memberimu sesuatu untuk diminum? Kapan Anda datang sebagai orang asing ke pintu saya, dan saya menyambut Anda? Kapan Anda datang kepada saya telanjang, dan saya memakaikan pakaian Anda? Kapan saya melihat Anda sakit atau di penjara, dan mengunjungi Anda? Selama 33 tahun aku telah mencarimu, tetapi aku belum pernah melihat wajahmu atau melayani kamu, Rajaku!”
Kemudian, seperti bisikan dari jauh terdengar jawaban suara yang lembut: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”.
Akhirnya, Artaban tersenyum bahagia dan meninggal dunia karena dia tahu bahwa Raja memang telah menerima hadiah yang dia bawa untuk-Nya.
Kisah indah, yang tokoh utamanya Artaban, orang bijak yang terlupakan yang tersesat selama perjalanannya ke Betlehem, ini ditulis oleh teolog Amerika Henry van Dyke dalam cerita Natalnya tahun 1896, The Other Wise Man. Ajarannya menggerakkan kita untuk membantu dan melayani orang lain untuk melayani Tuhan.
Berkah Dalem!
Ditulis dalam perjalanan kereta api menuju Bojonegoro
4.1.2021
✍️ Febry Silaban