Santo Yusuf dalam Surat Apostolik Patris Corde (5)
Peringatan 150 Tahun Pemakluman Santo Yusuf sebagai Pelindung Gereja Semesta
- Seorang bapak yang berani secara kreatif
Jika dalam tahap pertama penyembuhan batin sejati adalah menerima sejarah diri sendiri, yakni untuk menerima dalam diri kita sendiri bahkan apa pun yang tidak kita pilih dalam hidup kita, kita perlu menambahkan suatu unsur penting lainnya: keberanian kreatif. Ini timbul terutama ketika kita menjumpai kesulitan-kesulitan. Sesungguhnya, orang bisa berhenti dan meninggalkan gelanggang, atau justru mengupayakan beberapa hal. Terkadang justru kesulitan menumbuhkan sumber-sumber daya dari dalam diri kita yang tidak pernah kita pikirkan bahwa kita memilikinya.
Banyak kali ketika membaca “Injil masa kanak-kanak,” kita bertanya-tanya mengapa Allah tidak bertindak secara langsung dan jelas. Tetapi Allah campur tangan melalui peristiwa-peristiwa dan orang-orang. Yusuf adalah orang yang melaluinya Allah menjaga permulaan sejarah penebusan. Ia adalah “keajaiban” sejati yang dengannya Allah menyelamatkan Anak dan ibu-Nya. Allah bertindak dengan mempercayakan pada keberanian kreatif Yusuf, yang setiba di Betlehem tidak menemukan tempat di mana Maria bisa melahirkan, ia mengatur sebuah kandang dan menatanya kembali sehingga sedapat mungkin menjadi tempat penyambutan bagi Putra Allah yang datang ke dunia (bdk. Luk 2:6-7). Berhadapan dengan bahaya yang akan datang dari Herodes yang ingin membunuh Sang Anak, sekali lagi dalam mimpi Yosef diperingatkan untuk melindungi Sang Anak, dan di tengah malam ia bersiap-siap untuk menyingkir ke Mesir (bdk. Mat 2:13-14).
Pembacaan dangkal dari kisah-kisah ini selalu menimbulkan kesan bahwa dunia berada di bawah belas kasihan yang kuat dan berkuasa, tetapi “kabar baik” Injil adalah dengan menunjukkan bahwa Allah selalu menemukan cara untuk mewujudkan rencana keselamatan-Nya, meskipun ada kesombongan dan kekerasan para penguasa dunia. Meskipun hidup kita tampak dalam belas kasihan kekuasaan yang kuat, tetapi Injil mengatakan pada kita bahwa yang penting adalah Allah selalu menemukan cara untuk menyelamatkan kita, asalkan kita menggunakan keberanian yang sama seperti tukang kayu dari Nazaret itu yang tahu bagaimana mengubah masalah menjadi peluang dengan selalu menaruh kepercayaan pada penyelenggaraan ilahi.
Bila kadang Allah tampaknya tidak menolong kita, ini tidak berarti bahwa Dia telah meninggalkan kita, tetapi bahwa Dia mempercayai kita, akan apa yang bisa kita rancang, ciptakan dan temukan.
Ini adalah keberanian kreatif yang sama yang ditunjukkan oleh para sahabat orang lumpuh, yang untuk sampai di hadapan Yesus, menurunkannya dari atap rumah (bdk. Luk 5:17-26). Kesulitan tidak menghentikan keberanian dan ketegaran para sahabat itu. Mereka yakin bahwa Yesus bisa menyembuhkan si sakit dan (karena) “tidak dapat membawanya masuk berhubung dengan banyaknya orang di situ, naiklah mereka ke atap rumah, lalu membongkar atap itu, dan menurunkan orang itu dengan tempat tidurnya ke tengah-tengah orang banyak tepat di depan Yesus. Ketika Yesus melihat iman mereka, berkatalah Ia: ‘Hai saudara, dosamu sudah diampuni’ (ay. 19-20). Jesus mengenali iman kreatif yang dengannya mereka berusaha membawa sahabat mereka yang sakit kepada-Nya.
Injil tidak memberitahu berapa lamanya Maria, Yusuf dan Anak tinggal di Mesir. Namun, tentu saja mereka harus makan, menemukan sebuah rumah, sebuah pekerjaan. Tidak perlu banyak imajinasi untuk mengisi sikap diam Injil mengenai hal ini. Keluarga Kudus harus menghadapi masalah konkret seperti halnya keluarga-keluarga lainnya, seperti banyak saudara migran kita yang bahkan saat ini mempertaruhkan hidup mereka yang dipaksa oleh situasi kemalangan dan kelaparan.
Dalam arti ini, saya percaya bahwa Santo Yusuf adalah sungguh seorang pelindung istimewa bagi mereka yang meninggalkan tanah air mereka karena peperangan, kebencian, penganiayaan, dan kesengsaraan.
Pada akhir setiap kisah yang memandang Yusuf sebagai pelaku utama, Injil menuliskan bahwa ia bangun, membawa Anak dan ibu-Nya, dan melakukan apa yang Allah perintahkan kepadanya (bdk. Mat 1:24; 2:14.21). Sesungguhnya, Yesus dan Maria ibu-Nya adalah harta pusaka iman kita yang paling berharga.
Dalam rencana keselamatan Anak tidak dipisahkan dari Ibu[1]Nya, dari orang yang “melangkah maju dalam peziarahan iman. Dengan setia ia mempertahankan persatuannya dengan Putranya hingga di salib.”
Kita harus selalu bertanya pada diri kita sendiri apakah kita sedang melindungi dengan segenap kekuatan kita Yesus dan Maria yang secara misteri dipercayakan kepada tanggung jawab kita, pemeliharaan kita, dan penjagaan kita. Putra Yang Mahakuasa datang ke dunia dengan mengenakan keadaan yang sangat lemah.
Dia membutuhkan Yusuf untuk dijaga, dilindungi, dirawat, dibesarkan. Allah mempercayai laki-laki ini, seperti halnya Maria, yang menemukan dalam Yusuf seseorang yang tidak hanya ingin menyelamatkan hidupnya, tetapi yang selalu menafkahinya, juga Anak itu. Dalam arti ini, Santo Yusuf tidak bisa tidak menjadi Penjaga Gereja karena Gereja adalah kepanjangan Tubuh Kristus dalam sejarah, dan sekaligus keibuan Maria tercerminkan dalam keibuan Gereja.
Yusuf, dengan terus melindungi Gereja, juga terus melindungi Anak dan ibu-Nya, dan dengan mengasihi Gereja, kita juga terus mengasihi Anak dan ibu-Nya.
Anak inilah yang akan berkata: “segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Maka, setiap orang yang membutuhkan, setiap orang miskin, setiap orang yang menderita, setiap orang yang menjelang kematian, setiap orang asing, setiap orang yang dipenjara, setiap orang sakit adalah “Anak” yang terus dijaga Yusuf. Inilah sebabnya Yusuf dimohonkan sebagai pelindung orang yang menderita, orang yang membutuhkan, orang yang terbuang, orang yang sengsara, orang miskin, dan orang yang menjelang kematian. Dan inilah sebabnya Gereja harus pertama-tama mengasihi yang paling kecil dari mereka karena Yesus telah menempatkan perhatian utama-Nya kepada mereka, sebagai identifikasi pribadi-Nya. Dari Yusuf kita harus belajar perhatian dan tanggung jawab yang sama: untuk mengasihi Anak dan ibu-Nya; mencintai sakramen-sakramen dan amal kasih; mencintai Gereja dan orang-orang miskin. Masing-masing dari realitas ini selalu adalah Anak dan ibu-Nya.
(Sumber Dokpen KWI)