Santo Yusuf dalam Surat Apostolik Patris Corde (2)

Diocese of Paterson - Clifton, NJ
Peringatan 150 Tahun Pemakluman Santo Yusuf sebagai Pelindung Gereja Semesta
  1. Seorang bapak yang lembut dan penuh kasih

Yusuf melihat Yesus bertumbuh dari hari ke hari “bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia” (Luk 2:52). Seperti dilakukan Tuhan kepada Israel, demikian juga Yusuf “mengajar-Nya berjalan, dengan memegang-Nya dengan tangannya: Bagi-Nya ia seperti seorang ayah yang mengangkat seorang anak ke pipinya, dengan membungkuk kepada-Nya untuk memberi-Nya makan” (bdk. Hos 11:3-4).

Yesus melihat kelemahlembutan Allah pada Yusuf: “Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia” (Mzm 103:13).

Yusuf tentu saja telah mendengar gema di sinagoga, selama doa Mazmur bahwa Allah Israel adalah Allah kelemahlembutan, [11] yang baik kepada setiap orang dan yang “penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya” (Mzm 145:9).

Sejarah keselamatan terpenuhi “dalam harapan melawan semua harapan” (Rom 4:18), melalui kelemahan kita. Terlalu sering kita berpikir bahwa Allah hanya mengandalkan bagian diri kita yang baik dan berhasil, sementara pada kenyataannya kebanyakan rencana-Nya terpenuhi dalam kelemahan kita, dan meskipun seperti itu adanya. Maka, inilah yang membuat Santo Paulus mengatakan: “Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri. Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku. Tetapi jawab Tuhan kepadaku: ‘Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna’” (2Kor 12:7-9).

Jika ini adalah prospek tata keselamatan, kita harus belajar menerima kelemahan kita dengan kelembutan mendalam. [12]

Si Jahat menyebabkan kita memandang kerapuhan kita dengan penilaian negatif, sementara Roh meneranginya dengan kelemahlembutan. Kelemahlembutan adalah cara terbaik untuk menyentuh apa yang rapuh dalam diri kita. Jari yang menunjuk dan penilaian yang digunakan kepada orang lain sering kali menjadi tanda ketidakmampuan untuk menerima kelemahan-kelemahan dalam diri kita sendiri, kerapuhan kita. Hanya kelembutan akan menyelamatkan kita dari perbuatan pendakwa (bdk. Why 12:10). Itulah sebabnya penting menjumpai Belas Kasih Allah, terutama dalam Sakramen Rekonsiliasi, di mana kita memperoleh pengalaman kebenaran dan kelemahlembutan.
Secara paradoks meskipun si Jahat dapat mengatakan kepada kita kebenaran, tetapi itu dilakukannya hanya untuk menghukum kita. Namun demikian, kita tahu bahwa Kebenaran yang datang dari Allah tidak menghukum kita, tetapi menerima kita, mendukung kita, mengampuni kita. Kebenaran selalu menghadirkan dirinya kepada kita sebagai Bapa yang penuh kerahiman seperti dalam perumpamaan Yesus (bdk. Luk 15:11-32): datang untuk menjumpai kita, memulihkan martabat kita, membuat kita kembali berdiri tegak dan bersukacita bagi kita, dengan motivasi bahwa “Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali” (ay 24).

Bahkan melalui kecemasan Yusuf, terjadilah kehendak Allah, sejarahnya, rencananya. Yusuf mengajar kita bahwa memiliki iman kepada Tuhan juga mencakup kepercayaan bahwa Dia juga dapat bekerja melalui ketakutan kita, kerapuhan kita, kelemahan kita. Dan itu mengajarkan kita bahwa, di tengah prahara kehidupan, kita tidak boleh takut untuk menyerahkan kemudi perahu kita kepada Allah. Terkadang kita ingin mengontrol segalanya, tetapi Dia selalu memiliki gambaran yang lebih besar.


komsostidar1